1974
(18–31 Desember 1974)
PAMERAN BESAR SENI LUKIS INDONESIA I
Menampilkan 240 lukisan karya 83 pelukis dari seluruh Indonesia dan diselenggarakan di tiga tempat sekaligus, yaitu Taman Ismail Marzuki, Museum Pusat (Museum Nasional), Gedung STOVIA (Museum Kebangkitan Nasional). Pada pameran ini Dewan Juri terdiri dari Affandi, Popo Iskandar, Dr. Sudjoko, Alex Papadimitriou, Fadjar Sidiq, Kusnadi dan Umar Kayam memilih lima “lukisan yang baik” untuk mendapatkan hadiah masing-masing Rp.100.000,-. Lima lukisan tersebut adalah Matahari di Atas Taman karya Irsam (Jakarta), Keluarga karya Widayat (Yogyakarta), Lukisan Wajah karya Abas Alibasyah (Jakarta), Pohon karya Aming Prayitno (Yogyakarta), dan Tulisan Putih karya Abdul Djalil Pirous (Bandung).
1975
DESEMBER HITAM
Pada 31 Desember 1974 beberapa seniman muda melakukan tindakan protes terhadap penjurian dan penghargaan karya-karya terbaik dalam Pameran Besar Seni Lukis Indonesia I. Dengan mengirimkan karangan bunga putih dan pita hitam bertuliskan “Ikut Berduka Cita Atas Kematian Seni Lukis Kita”. Protes ini kemudian hari menghadirkan gejala estetika Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) ditandai dengan Pameran Seni Rupa Baru, Agustus 1975.
1976
(16 – 30 Desember 1976)
PAMERAN BESAR SENI LUKIS INDONESIA II
Sebanyak 119 lukisan dari 61 seniman dari seluruh Indonesia dihadirkan dalam pameran ini. Pameran diselenggarakan di Ruang Pameran dan di ruang lantai III Taman Ismail Marzuki. Lima lukisan pemenang pilihan juri: “Kemungkinan-kemungkinan” karya Lian Sahar (Yogyakarta), “Lukisan I” karya Ahmad Sadali (Bandung), “Alam” karya Zaini (Jakarta), “Matahari” karya Oesman Effendi, dan “Kurnianya Yang Mana Yang Masih Kau Dustakan” karya A.D. Pirous (Bandung). Masing-masing pemenang mendapatkan hadiah Rp.250.000,-.
1978
(14 – 30 Desember 1978)
PAMERAN BESAR SENI LUKIS INDONESIA III
Pameran diselenggarakan di Ruang Pameran dan Galeri Baru, Taman Ismail Marzuki, dengan menghadirkan sekitar 108 lukisan dari 54 seniman.
1980
(17 Desember 1980 – 16 Januari 1981)
PAMERAN BESAR SENI LUKIS INDONESIA IV
Pameran ini diselenggarakan di Galeri Baru Lantai III Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, menghadirkan 180 lukisan dari 90 seniman. Selain pameran diselenggarakan diskusi seni lukis, dan pemutaran film kehidupan dua pelukis produksi Direktorat Pembinaan Kesenian Departemen P & K: Film tentang Affandi karya Hadi Purnomo dan film tentang Trisno Sumardjo karya D.A. Peransi.
1982
(4 – 30 Desember 1982)
PAMERAN BIENNALE V
Untuk pertama kali nama “Pameran Besar” diubah menjadi “Biennale” dan tidak lagi memilih lukisan terbaik. Konsep pameran dipadatkan dengan beberapa kriteria, mulai dari umur, kontinuitas berkarya, dan inovasi. Dari 19 pelukis undangan, hanya 16 seniman yang siap berpameran.
1984
(26 November – 6 Desember 1984)
BIENNALE VI SENI LUKIS INDONESIA
Pameran ini diselenggarakan di Ruang Pameran Utama, Ruang Pameran, dan Lobby Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Dengan mengacu pada konsep biennale sebelumnya, pameran ini menghadirkan sekitar 134 lukisan karya 28 seniman.
1987
(13 – 31 Juli 1987)
BIENNALE VII: PAMERAN DAN KOMPETISI SENI LUKIS INDONESIA
Biennale berusia 12 tahun dipandang belum menambah ragam kualitas seni lukis Indonesia. Dewan Kesenian Jakarta melakukan riset perkembangan seni lukis se-Indonesia dan mencatat 150 pelukis yang dianggap baik. Pada agenda ini diundang 33 pelukis masing-masing menyertakan dua karya mereka.
1989
(24 Juli – 24 Agustus 1989)
BIENNALE ‘89: PAMERAN DAN KOMPETISI SENI LUKIS INDONESIA VIII
Dewan Juri terdiri dari Sudjoko, Sanento Yuliman, Mochtar Lubis, Rusli, Alex Papadimitriou menetapkan pelukis muda Boyke (31) sebagai pelukis terbaik, di samping Ivan Sagito (32), Dwijo Sukatmo (39), Amang Rahman (58). Boyke mendapat hadiah yang disediakan Setiawan Djodi (Pimpinan Pameran) sebesar Rp.2.000.000,- dan tiket menyaksikan “Biennale Sao Paulo” Brazil.
1993-1994
(17 Desember 1993 – 17 Januari 1994)
BIENNALE SENI RUPA JAKARTA IX
Postmodernisme mengisi wacana dan perdebatan Biennale 1993. Jim Supangkat, salah satu kurator menyatakan karya yang hadir dalam pameran tersebut bukan “Postmodernisme”, bukan “seni rupa Instalasi” atau “seni rupa eksperimental”, melainkan “seni rupa kontemporer Indonesia”. 41 seniman dalam Biennale 1993 dipandang menghadirkan suatu kecenderungan baru dalam gerakan seni rupa di Indonesia.
1996
(20 November–15 Desember 1996)
BIENNALE X JAKARTA: PAMERAN SENI LUKIS INDONESIA
Biennale ini berupaya memetakan kembali posisi perkembangan seni rupa Indonesia, khususnya perupa periode 1980-1990an, sekaligus ruang mengevaluasi kemunculan nilai-nilai baru. Kegiatan ini mengundang 63 pelukis (60 ikut serta) dan diselenggarakan di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki. Para kurator terdiri dari Roedjito, Mara Karma, Sir Warso Wahono, dan Sulebar M. Soekarman.
1998
(10 November–10 Desember 1998)
BIENNALE XI JAKARTA: PAMERAN SENI LUKIS INDONESIA
Yayasan Kesenian Jakarta, atas nama Dewan Kesenian Jakarta, melelang 30 lukisan dalam bursa lelang Southeast Asian Painting Biro Sotheby’s, di Hotel Regent Singapura, dan hasil penjualan digunakan untuk Biennale XI Jakarta. Biennale kali ini diselenggarakan di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, dan menghadirkan 100an lukisan karya 68 pelukis dari 10 kota di Indonesia.
2000
Yayasan Kesenian Jakarta gagal menggalang dana untuk rencana penyelenggaraan Biennale XII
2006
(23 Mei - 25 Juni 2006)
BIENNALE XII JAKARTA: BEYOND
2009
JAKARTA BIENNALE XIII: ARENA
Sejak 2009 Jakarta Biennale tidak hanya menampilkan karya-karya di ruang pamer, tapi juga mengadakan proyek seni dan intervensi artistik di ruang kota.
2011
(15 Desember 2011-15 Januari 2012)
JAKARTA BIENNALE XIV: JAKARTA MAXIMUM CITY
Jakarta Biennale tahun 2011 hadir dengan mengusung menjadikan dinamika kota menjadi inspirasi oleh peserta yang terdiri dari 55 seniman dalam negeri dan 17 seniman luar negeri. Dikuratori oleh Bambang Asrini Widjanarko, Ilham Khoiri, dan Seno Joko Suyono, pameran mengambil venue di Galeri Nasional, TIM, dan Bentara Budaya Jakarta.
2013
(9 – 30 November 2013)
BIENNALE JAKARTA XV: SIASAT
Diselenggarakan di Plaza dan Rubanah Taman Ismail Marzuki dengan Direktur Artistik Ade Darmawan dan Hafiz Rancajale sebagai Kurator Utama. Pameran ini menghadirkan 40an seniman (kelompok seniman) dari berbagai negara. Jakarta Biennale 2013 mencoba memperluas pengalaman artistik di wilayah-wilayah yang belum banyak tersentuh oleh kegiatan seni rupa kontemporer seperti wilayah Timur, Barat, dan Utara (Jakarta). Para seniman ditantang untuk mengolah gagasan artistiknya di ruang publik, yang dalam perhelatan tahun ini terwujud di pasar, taman, tembok-tembok kota, sekolah, dan permukiman
2014
Yayasan Jakarta Biennale didirikan oleh beberapa orang anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), seniman, kurator, praktisi dan akademisi multidisiplin. Pendirian ini lembaga mengubah tradisi penyelenggaraan Jakarta Biennale, dari DKJ selaku penyelenggara berganti menjadi konsultan, pembina dan pengawas.
2015
(15 November 2015 – 17 Januari 2016)
BIENNALE JAKARTA XVI: MAJU KENA, MUNDUR KENA
Jakarta Biennale 2015 adalah usaha meninjau masa kini tanpa terjebak masa lalu dan masa mendatang. Di dalam karya, sekitar 70-an seniman membahas kondisi ekonomi, sosial, dan emosional masyarakat di Indonesia lewat tiga isu besar: air, sejarah, dan gender. Para seniman tersebut berasal dari Indonesia, Taiwan, Brazil, Meksiko, Romania, Selandia baru, Inggris, Perancis, Turki, Myanmar, Vietnam, Filipina, Malaysia, Jepang, Kolombia, Singapura, Thailand, Australia, Denmark.
Biennale yang diselenggarakan di Gudang Sarinah ini menggandeng Charles Esche untuk bekerja sebagai kurator bersama enam kurator muda Indonesia dari Aceh, Makassar, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta.
2017
(4 – 14 November 2017)
JIWA: JAKARTA BIENNALE 2017
Jakarta Biennale 2017 diselenggarakan di tiga tempat: Gudang Sarinah, Museum Jakarta, Museum Seni Rupa dan Keramik. Pameran dengan Ade Darmawan selaku Direktur Eksekutif dan Melati Suryodarmo sebagai Direktur Artistik ini, diikuti 51 seniman dari berbagai negara, dipilih oleh tim kurator yang terdiri dari: Philip Pirotte (Belgia), Vit Havranek (Republik Ceko), Hendro Wiyanto (Indonesia), Annisa Gultom (Indonesia).
2021
(November 2021 – 21 Januari 2022)
JAKARTA BIENNALE 2021 ESOK: MEMBANGUN SEJARAH BERSAMA!
Biennale ini digagas akhir 2019, dilaksanakan dalam era normal baru, pasca Pandemi Covid-19. Menghadirkan puluhan seniman (dan kerja kolaborasi) mancanegara dengan venue berlokasi di Museum Nasional, Museum Kebangkitan Nasional, Taman Menteng, dan Taman Ismail Marzuki. ESOK berupaya menyentuh beragam permasalahan kehidupan dunia hari ini: hak asasi manusia, lingkungan hidup, keberagaman, kesetaraan gender, polarisasi politik hingga disrupsi digital. Persoalan-persoalan tersebut dibaca, direnungkan, diperbincangkan, dan diekspresikan dalam koridor seni kontemporer. Melalui pembacaan ulang sejarah dan tatapan masa depan, tawaran siasat dan eksperimentasi seni rupa menyandang urgensi dalam pencarian dan pemaknaan ESOK.
2024
(1 Oktober – 15 November 2024)
50 TAHUN JAKARTA BIENNALE